PENDAHULUAN. Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 215 juta orang. Dari jumlah ini dapat diperkirakan berapa jumlah mereka yang laki-laki dan perempuan dewasa yang berbadan sehat jasmani dan rohani? Jumlah sebesar ini merupakan potensi yang dahsyat untuk mendukung sistem pertahanan dan berapa besar jumlah yang memiliki kesadaran akan cinta tanah air dan menguasai keterampilan bela negara, mereka semuanya menjadi sumber utama kekuatan pertahanan sekaligus merupakan deterrent factor kita dalam menghadapi segala bentuk ancaman. Kekuatan rakyat disebut sebagai deterrent factor karena RI belum sanggup membangun kekuatan penangkal yang mengandalkan kesenjataan/peralatan teknologi yang canggih. Karenanya RI belum punya kemampuan melumpuhkan musuh yang berada jauh di luar wilayahnya atau bahkan di wilayah lawan. Kalaupun kita mau offensive, maka itu terbatas pada offensive diplomatic, sebab RI pun rasanya tidak akan mengikatkan diri dalam perisai pakta pertahanan seperti NATO atau FPDA, dan nimbrung kesenjataan/ persenjataan canggih negara-negara sekutu yang lebih kaya. Indonesia menganut prinsip cinta damai, tapi sekaligus menegaskan lebih cinta kemerdekaan (Mukadimah UUD 1945) artinya Indonesia juga harus siap berperang, karena kalau kemerdekaan dan kedaulatan kita terusik kita akan melawan. Bagi Indonesia, berperang adalah tindakan tidak berperi-kemanusiaan, tidak sesuai dengan martabat manusia. Penyelesaian pertikaian atau pertentangan yang mungkin timbul dengan bangsa lain akan selalu diusahakan melalui cara damai, bagi bangsa Indonesia perang adalah jalan terakhir yang terpaksa harus ditempuh apabila semua usaha penyelesaian secara damai tidak membawa hasil. Kita juga akan menjaga wilayah nasional dari intervensi negara asing dan jangan dijadikan ajang perang apalagi hanya untuk kepentingan tertentu negara lain. Keyakinan akan kekuatan rakyat sudah tertanam sejak sebelum revolusi kemerdekaan ketika diawal tahun 1900-an para pemimpin bumi putra menuntut Indie Weerbaar (Hindia Belanda yang berkemampuan pertahanan). Di masa Jepang semangat itu dimanfaatkan oleh tentara pendudukan dengan membangun PETA (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air). Lalu di masa awal revolusi (jaman ‘’bersiap”), sebelum tentara resmi dibentuk, perlawanan dilakukan oleh citizen in arms yakni para pemuda melalui barisan-barisan kelaskaran. Sejak dulu kita memiliki kesadaran tentang rakyat sebagai komponen dasar pertahanan. Hal itu dapat dilihat dengan jelas dan telah menjadi muatan-muatan dari konstitusi dasar kita: • Undang-undang Dasar 1945 (pasal 30), • Konstitusi RIS (pasal 179), • UUDS 1950 (pasal 125), • Serta dituangkan melalui perangkat legislasi, yakni : • UU Nomor 3 /1948, tentang Pertahanan RI ; • UU Nomor 29/1954 tentang Pertahanan RI ; • UU Nomor 66/1958 tentang Wamil ; • UU Nomor 20 /1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Hankamneg ; • UU Nomor 3 /2002 tentang Pertahanan Negara,dan • UU Nomor 34 / 2004 tentang TNI. Doktrin kerakyatan dalam sistem Pertahanan yang terkenal dengan sebutan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta diingatkan kembali melalui TAP MPR Nomor: VII / MPR / 2000, dan Amandemen dari pasal 30 UUD 1945. KEBIJAKAN PERTAHANAN NEGARA DAN IMPLIKASINYA. Penyelenggaraan pertahanan negara memerlukan kebijakan pertahanan negara yang komprehensif. Pemerintah menyusun kebijakan pertahanan negara dalam dimensi kebijakan umum dan kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara. Kebijakan umum pertahanan negara memuat hal-hal pokok tentang pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan dan sistem pertahanan negara. Dalam rangka membangun wawasan tentang sistem pertahanan negara di Indonesia saat ini tidaklah mudah , hal tersebut dapat dilihat dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, yang berlaku dan mempengaruhi bangun pertahanan negara. Faktor-faktor tersebut dapat dicermati dari pertama, dari sisi konseptual. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan karena faktor-faktor itu tidak dapat diperhitungkan secara tepat. Kedua, dari sisi legal konstitusional. Apakah segenap peraturan perundang-undangan kita telah lengkap atau cukup untuk memberi payung kewenangan hukum? Apakah segenap peraturan perundang-undangan kita dapat dimengerti dan memberi keterkaitan yang jelas antar pelaksana fungsi untuk memberikan akuntabilitas dalam implementasinya? serta ketiga, kondisi faktual yang dihadapi bangsa Indonesia di tengah krisis nasional dan era reformasi yang memaksa kita mengadakan evaluasi terhadap konsep pertahanan keamanan masa lalu agar dapat mendisain sistem pertahanan negara (Sishanneg) yang sesuai dengan perubahan yang terjadi di masa sekarang dan masa depan. Namun, dari manapun wawasan itu dibangun dan diformulasikan, tidak bisa tidak, titik tolak pandangan kita tetaplah harus bertumpu pada fungsi pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan. Hal ini karena segenap upaya pertahanan negara beserta segenap upaya fungsi pemerintahan lainnya pada akhirnya diselenggarakan untuk mengabdi kepada kepentingan nasional. Oleh sebab itulah kita temukan bahwa fungsi pertahanan itu tidak hadir dalam isolasi dan akan selalu hadir sebagai bagian dari keseluruhan fungsi pemerintahan. Dalam pendekatan konseptual untuk menyusun suatu konsepsi pertahanan negara, tidak terlepas dari kecenderungan perkembangan lingkungan strategis, ciri konflik masa depan, hakikat ancaman (baik dari dalam maupun luar negeri), serta kepentingan nasional Indonesia. Untuk menjawab kecenderungan tersebut ditentukan strategi nasional guna mencapai kepentingan nasional, khususnya untuk mendapatkan penjabaran strategi dan sasaran dalam bidang pertahanan negara. Posisi dan peran TNI dan Polri telah mendapat legitimasi formal melalui kesepakatan bangsa dalam Sidang Tahunan (ST) MPR 2000, terutama melalui TAP MPR Nomor VI dan VII dan telah dijabarkan melalui UU nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ketiga undang-undang tersebut dengan jelas telah menguraikan tentang tugas dan fungsi masing-masing institusi tersebut. TNI sebagai komponen utama pertahanan(UU No. 3 tahun 2002) atau sebagai alat pertahanan negara (UU No. 34 tahun 2004) mempunyai tugas menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Keikut-sertaan TNI dalam penyelenggaraan negara mencakup: Kebijakan politik negara merupakan dasar kebijakan dan pelaksanaan tugas TNI dan bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis serta menjunjung tinggi hukum, dan hak asasi manusia. UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI merupakan payung hukum TNI dalam melaksanakan fungsi pertahanan negara maupun keikutsertaannya pada penyeleng-garaan negara. Penyelenggaraan pertahanan negara selama ini, bertumpu pada perlawanan rakyat yang disusun dalam sistem pertahanan keamanan rakyat semesta ( Sishankamrata). Pelajaran yang paling jelas tentang implementasi Sishankamrata ini adalah perjuangan kemerdekaan periode 1945 sampai 1949. Pada masa itu, kekuatan rakyat bersenjata dan tidak bersenjata bersama-sama bangkit melawan penjajahan dan berhasil mengusir penjajah Belanda. Adapun tantangan yang dihadapi saat ini adalah mencari wujud implementasi dalam tatanan negara modern atas segenap doktrin, sistem dan tatanan yang kita warisi dari masa lalu sejak perjuangan fisik merebut kemerdekaan. Dalam kaitan Sishankamrata pada hakikatnya merupakan perwujudan sistem pertahanan semesta (Total Defence) atas segenap potensi dan sumber daya nasional guna menghadapi berbagai ancaman terhadap kelangsungan hidup bangsa. Peperangan di masa depan tidak akan sama dengan peperangan masa lalu, walaupun prinsip-prinsip peperangan tetap berlaku. Perang masa depan akan dipengaruhi oleh apa yang dikenal sebagai Revolution in Military Affairs, yaitu suatu medan perang yang ditandai dengan elemen-elemen precision strike, information warfare, dominating maneuvers, dan space warfare. Ancaman bersenjata di masa mendatang akan ditandai dengan penggunaan keempat elemen tersebut secara integrated. Oleh karena itu, peperangan tidak dapat hanya bersandar pada kekuatan militer nyata yang eksis pada saat itu. Jaminan kemenangan dalam suatu perang diperoleh dari keunggulan militer dan daya tahan atau kemampuan militer melakukan perang yang berkelanjutan. Hal ini mensyaratkan bahwa bangsa kita perlu memiliki kemampuan untuk memenuhi sendiri kebutuhan dasar peralatan perangnya dan mampu melipat-gandakan kekuatan militernya sesuai dengan besar ancaman yang mungkin akan dihadapi. Kemajuan bangsa dan dengan hasil pembangunannya, kesemestaan perang mendatang tidak menitik-beratkan tumpuannya kepada kerakyatan semata, akan tetapi, akan lebih bersandar kepada kesemestaan segenap potensi yang dimiliki bangsa, yaitu totalitas dukungan kemampuan negara di bidang teknologi, industri, sarana dan prasarana, maupun daya tahan rakyat yang turut mendukung angkatan bersenjatanya dalam penyelenggaraan perang. Oleh karena itu, perang masa depan sangat tergantung dari kemampuan negara pada seluruh lingkupnya. Inilah hakikat sishankamrata tahun 1945 ketika kesemestaan masih dipusatkan pada aspek rakyat sebagai man power. Satu nilai yang tetap harus kita pertahankan adalah bahwa upaya pertahanan negara harus senantiasa diselenggarakan berdasarkan semangat cinta tanah air yang berkobar-kobar dan pantang menyerah. Upaya mewujudkan kesemestaan itu merupakan upaya menyiapkan sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana untuk membangun dan mendukung upaya pertahanan negara. Persiapan ini dilakukan pemerintah pusat dan daerah, lembaga atau instansi non-pemerintah, serta semua warga negara dalam sistem pertahanan semesta. Fungsi pembinaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan selama ini dikenal dengan fungsi teritorial akan melibatkan semua pihak dan meliputi instansi pemerintah pusat dan daerah (termasuk TNI), instansi non-pemerintah, warga negara, serta kalangan industri nasional. Pembentukan komponen kekuatan pertahanan yang nyata dipengaruhi oleh wujud ancaman dan seberapa besar kemungkinan ancaman tersebut menjadi nyata, dalam kondisi damai, dibandingkan jika ancaman sedang terjadi. Hal ini sangat bergantung pada kesadaran warga negara dan kemampuan negara. Namun, secara universal harus diakui bahwa pembangunan kekuatan militer pada tingkat minimal tidak dapat diabaikan dan harus dilakukan. Korelasi antara ancaman dan kekuatan militer adalah berbanding terbalik. Dalam penyelenggaraan pertahanan negara, kekuatan intinya adalah angkatan bersenjata atau militer. Di Indonesia dikenal dengan TNI. Kekuatan militer sejak awal memang dipersiapkan untuk menghancurkan musuh dengan kekuatan senjata. Seperti yang dikatakan Karl von Clausewitz dalam bukunya On War, ia menyatakan, “perang tidak lain adalah kelanjutan politik dengan cara yang lain. Perang adalah alat untuk mencapai tujuan politik. Oleh karena itu, perang tidak dapat dipisahkan dari konteks politik”. Globalisasi dan reformasi telah menghadapkan Dephan dan TNI pada berbagai tantangan yang sangat kompleks, termasuk keharusan untuk merumuskan kembali doktrin, strategi dan postur pertahanan Indonesia. Tanpa melakukan hal itu sulit dibayangkan Indonesia dapat membangun kekuatan militer yang profesional, tangguh, dan handal. Militer mungkin tidak akan menjadi kekuatan yang efektif untuk mengemban fungsinya, baik fungsi pertahanan negara maupun fungsi bantuan, seperti yang diamanatkan UUD 1945, maupun ketetapan-ketepan MPR, apabila TNI tidak dengan sungguh-sungguh mereformasi intern di tubuh TNI sesuai tuntutan reformasi itu sendiri guna menuju profesionalitas TNI. Doktrin, strategi dan postur pertahanan seringkali harus menyesuaikan dengan tuntutan perubahan. Persoalan yang harus dihadapi dalam kontek tersebut berkaitan dengan soal apa yang harus dipertahankan dan bagaimana mempertahankannya. Globalisasi telah memporak-porandakan landasan-landasan lama tentang pertahanan dan kedudukan militer dalam fungsi tersebut. Banyak alasan yang mendukung hal tersebut antara lain: Pertama, kemajuan di bidang teknologi dan informasi menyebabkan batas-batas teritorial seakan-akan luruh tetapi pada saat yang sama membawa keharusan baru akan kewilayahan yang lebih abstrak dan membuka peluang lebih banyak sengketa dengan pihak lain. Perang informasi (information warfare) semakin efektif dan menjadikan negara semakin sulit membentengi dirinya dari instrusi luar. Munculnya rudal-rudal balistik mengubah watak perang. Teknologi baru di bidang informasi dan kemiliteran menyebabkan batas-batas antar negara menjadi semakin rawan terhadap serangan preemtif lawan. Globalisasi teknologi senjata, bukan hanya mengaburkan batas antara senjata ofensif dan defensif, dan oleh karenanya akan mempersulit perhitungan penangkalan (deterrence) tetapi juga mendorong modernisasi senjata. Kedua, khusus bagi Indonesia yang terdiri dari negara kepulauan dalam rangka upaya bela negara merupakan usaha yang sangat besar untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan NKRI, antara lain dalam mempertahankan sumber daya, keamanan jalur pelayaran (Sea Lanes of Communication / SLOC), kedaulatan atas kawasan ekonomi eksklusif, sumber daya yang ada di laut dan di darat. Pertahanan (defence) selayaknya ditafsirkan bukan hanya perlindungan atas wilayah negara yang diakui secara internasional saja tapi juga pengamanan akses pada potensi dinamis ekonomi global. Sebagai konsekuensi dari hal di atas, sumber ancaman (source of threat) terhadap apa yang selama ini dikenal sebagai “keamanan nasional” menjadi semakin luas, bukan hanya meliputi ancaman dari dalam (internal threat) dan ancaman dari luar (external threat) tetapi juga ancaman azymutal yang bersifat global tanpa bisa dikategorikan sebagai ancaman luar atau ancaman dalam. Selain itu watak ancaman (nature of threat) juga berubah menjadi multidimensional, sebab-sebab konflik menjadi semakin majemuk, dan tidak bisa semata-mata dibatasi sebagai ancaman militer, idiologi, politik, ekonomi dan sosial budaya merupakan dimensi yang tetap relevan didiskusikan. DOKTRIN PERTAHANAN: SISTEM PERTAHANAN SEMESTA. Doktrin Pertahanan (defence doctrin), atau lebih luas lagi doktrin keamanan nasional (national security doctrine), meliputi berbagai prinsip dasar yang menjadi pegangan dan arahan bagi penggunaan sumber daya pertahanan untuk mencapai tujuan nasional. Strategi pertahanan dimengerti sebagai segenap seni dan pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan dan penggunaan unsur pertahanan, pada masa damai maupun perang, untuk maksimalisasi penggunaan sumber daya dan minimalisasi resiko. Semuanya merupakan sebuah kerangka sistematik dengan perkaitan antara konsep, strategi, dan operasionalisasinya. Di Indonesia, gagasan konseptual untuk itu tertuang dalam apa yang dikenal sebagai “sistem pertahanan [dan keamanan] rakyat semesta”sishan [kam] rata, kini mulai disebut sebagai sishanta, dengan menghilangkan elemen keamanan di dalamnya. Sistem itu masih bersemayam kuat dalam doktrin, strategi, dan kebijakan pertahanan nasional. Sishanrata sangat erat kaitannya dengan prinsip pertahanan wilayah, dan oleh karenanya struktur (komando dan fungsi) teritorial. Tujuan politik yang hendak dicapai dalam sistem pertahanan rakyat semesta itu adalah kelangsungan hidup (survivability), dan utama pengembangan sistem (system advancement) bukan menjadi prioritas pokok dari sistem tersebut. Secara kultural, oleh karenanya, sistem hanrata cenderung konservatif dan menutup diri terhadap kemungkinan perubahan. Sistem pertahanan teritorial sesungguhnya diadopsi oleh hampir seluruh negara. Sistem pertahanan teritorial itu sendiri merupakan turunan (derivat) dari doktrin perang total (total war) di wilayah sendiri. Sistem yang dirumuskan oleh Karl von Clauzewits, jenderal Prusia yang banyak mempengaruhi gagasan mengenai doktrin, strategi dan kebijakan pertahanan. Prinsip utama adalah minimalisasi risiko, bukan maksimalisasi keuntungan. Dalam pelaksanaannya, prinsip perang teritorial mengambil strategi bahwa “seluruh sumber daya di wilayah yang diduduki harus dihancurkan agar tidak memberi keuntungan pada musuh”. Sistem hanrata dan strategi teritorial mungkin dapat dianggap sebagai benteng terakhir untuk menghadapi pendudukan. Namun menjadi tanda tanya besar apakah kerangka seperti itu dapat diandalkan untuk mengamankan dan menyelamatkan kepentingan nasional Indonesia dari berbagai spectrum ancaman. Strategi teritorial hanya cocok untuk menghadapi musuh dari dalam negeri, atau sudah terlanjur berada, dalam wilayah sendiri. Sulit dibayangkan sistem hankamrata memberi ruang gerak yang besar untuk mengantisipasi kemungkinan ancaman militer dari luar. Bahkan jika diterapkan untuk menghadapi ancaman-ancaman non militer, tidak mustahil sistem hanrata cenderung hypochondriac, memandang sesuatu potensi yang sebenarnya tidak akan, atau kecil kemungkinannya, berubah menjadi ancaman aktual. Di Indonesia, struktur teritorial menjadi problematik baik karena sejarah peran politik militer pada masa Orde Baru, karena ketidak-handalannya untuk menyangga kerawanan Indonesia pada masa yang akan datang. Dengan mengandalkan pada pendudukan, misalnya, sistem teritorial menjadi kurang relevan. Perkiraan ancaman untuk masa-masa yang akan datang, Indonesia tidak akan menghadapi pendudukan dari negara lain. Perang modern, dengan strategi dan sistem persenjataan canggih, mungkin bahkan tidak memerlukan bentuk pendudukan fisik, yang selain sangat mahal secara politik juga rawan terhadap serangan balik. Strategi itu menjadi lebih kontroversial lagi karena dengan mudah dapat diindentifikasikan sebagai cara-cara tradisional dalam perang, termasuk taktik perang gerilya (guerrilla warfare). Indonesia hingga kini masih sering berpikir dan bertindak dalam kerangka itu. Sebut saja apa yang terjadi dalam kasus Aceh sejak masa daerah operasi militer maupun masa-masa akhir pendudukan Indonesia di Timor Timur. Strategi teritorial lebih banyak mempunyai konotasi “perang politik” (political warfare) dari pada perang yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab profesi kemiliteran (military warfare). Strategi itu mungkin bermanfaat untuk penyiapan sumber daya pertahanan dan perlawanan. Namun pada tataran selanjutnya, strategi tersebut tidak memiliki nilai strategis militer karena seluruh aset yang dipertahankan akan hancur, dan oleh karenanya mencerminkan kegagalan pertahanan militer untuk mencapai tujuan. Di masa depan harus dirumuskan dengan jelas tentang tujuan pertahanan Indonesia. Seharusnya rumusan itu tertuang dalam berbagai bentuk, misalnya bagaimana mempertahankan garis batas terluar (di darat, laut dan udara); bagaimana memperteguh kemampuan penangkalan (denial) di seluruh perairan, bagaimana cara menguasai teritorial darat, laut dan udara; serta bagaimana cara terbaik untuk mencegah potensial agresor. Kelemahan pokok dari sishanta adalah irelevansinya dalam menghadapi ancaman masa depan. Dengan mengandalkan pada tujuan minimalis, yaitu mempertahankan diri, tidak cukup memadai sebagai pilar pokok doktrin pertahanan nasional. Suatu negara bukan semata-mata perlu mempertahankan eksistensinya tetapi juga harus mengembangkan diri, baik untuk kesejahteraan warga negaranya maupun perdamaian dunia. PENUTUP. Dengan memperhatikan kondisi Indonesia dari aspek kemampuan teknologi pertahanan dan kemampuan di bidang keuangan serta dihadapkan kepada ancaman terhadap Indonesia di masa depan sangat dirasakan perlu adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa dalam rangka menjaga kedaulatan dan keselamatan bangsa, tentunya akan lebih baik dengan suatu legiltas melalui peraturan perundang-undangan, agar dikemudian hari tidak terjadi konflik antar bangsa dan tentunya dikaitkan juga dengan reformasi hukum yang sedang bergulir. 1. Penataan kewenangan pertahanan keamanan negara harus melibatkan seluruh komponen bangsa baik sipil maupun militer dalam memikirkan dan merumuskan serta menentukan kebijakan di bidang pertahanan. 2. Upaya mewujudkan kesemestaan merupakan upaya menyiapkan sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana untuk membangun dan mendukung upaya pertahanan negara. 3. Kekuatan rakyat disebut sebagai deterrent factor karena RI belum sanggup membangun kekuatan penangkal yang mengandalkan kesenjataan/ peralatan teknologi yang canggih. Sistem hanrata dan strategi teritorial mungkin dapat dianggap sebagai benteng terakhir untuk menghadapi pendudukan. 4. Dengan kemajuan bangsa dan dengan hasil pembangunannya, kesemestaan perang mendatang tidak menitik-beratkan tumpuannya kepada kerakyatan semata, akan tetapi, akan lebih bersandar kepada kesemestaan segenap potensi yang dimiliki bangsa, yaitu totalitas dukungan kemampuan negara di bidang teknologi, industri, sarana dan prasarana, maupun daya tahan rakyat yang turut mendukung penyelenggaraan pertahanan. Daftar Pustaka 1. Indria Samego “Sistem Pertahanan Keamanan Negara, Analisis Potensi & Problem” The Habibie Center, Jakarta 2001 2. Prof. Dr. Juwono Sudarsono, “Pertahanan dan Keamanan : Masalah Bersama Kita”, The Habibie Center, Jakarta 2001 3. Letjen TNI Agus Widjojo, “Wawasan Masa depan Tentang Sistem Pertahanan Negara ” Jakarta 2001 4. Kusnanto Anggoro “Doktrin, Strategi dan Postur Pertahanan Indonesia Masa Depan” CSIS Jakarta 2002 5. Departemen Pertahanan RI “Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21 ” Jakarta 2003 6. Biro Hukum Setjen Dephan “Buku Himpunan Perundang-undangan Yang terkait Dengan Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pertahanan”, Jakarta 2004. 7. Juwono Sudarsono, “Military Reform and Defense Planning A Top Priority for Indonesia’s Next Administration” Usindo, Juni 2004 Balitbang Dephan Jl. Jati N0. 1 Pondok Labu Jakarta Selatan 12450 Tlp. 7502086 Fax. 7504466 e-mail: buletinlitbang@dephan.go.id Litbang Pertahanan Indonesia merupakan media internal sebagai sarana penyebarluasan dan pengembangan pemikiran terutama menyangkut Iptek, Industri, SDM, Strategi Pertahanan, serta fora nasional dan internasional yang terkait dengan upaya penyelenggaraan Pertahanan Negara. Tulisan yang ada di dalamnya tidak harus merupakan pencerminan pendapat resmi Balitbang Dephan. Pengutipan tulisan yang ada dalam Buletin ini harus seijin Redaksi